Judul : Pertemuan
Oleh : Umi Ani Jusida
Gerimis membungkus kota, tapi perutku sudah tidak bisa menahan lapar. Kebetulan tempat tinggalku tidak jauh dari toko yang menjual bahan makanan. Aku hanya perlu berjalan sekitar 50 km dari rumah. Malam ini ada teman dekatku bermalam di rumah, jadi aku rasa dia juga merasakan lapar karena kami belum makan malam.
Oleh : Umi Ani Jusida
Gerimis membungkus kota, tapi perutku sudah tidak bisa menahan lapar. Kebetulan tempat tinggalku tidak jauh dari toko yang menjual bahan makanan. Aku hanya perlu berjalan sekitar 50 km dari rumah. Malam ini ada teman dekatku bermalam di rumah, jadi aku rasa dia juga merasakan lapar karena kami belum makan malam.
Aku melangkah keluar kamar dan menuju ke teras rumah. Mengambil
jaket supaya tidak kedinginan. Gerimis? Ah, tidak masalah pikirku. Gerimis
bahkan kalah dengan laparku yang mengganggu fokusku saat mengerjakan tugas
kuliah.
“Hati-hati di jalan” ujar temanku,
“Tenang saja, tokonya hanya berjarak 50 km dari sini” jawabku
sambil berlalu meninggalkannya untuk pergi ke toko.
***
*Di toko
Aku sedang memilih makanan apa yang bisa mengenyangkan tapi
harganya terjangkau. Aku harus berhemat karena keperluan kuliahku sangat
banyak. Bukan hanya berjuang dengan otak, tapi juga dengan materi. Maklum, aku
sudah berada di zona akhir semester. Teman-teman seangkatan rata-rata sudah
fokus perbaikan BAB IV. Lah aku, baru perbaikan BAB I.
Sambil memilih apa yang dicari, mataku melihat ke arah kasir.
Seorang laki-laki sedang berbicara dengan pengunjung toko.
“Yang itu beli dua gelatis satu” ucap Koko penjaga kasir
“Kalau yang ini Ko?” seorang laki-laki jangkung memperlihatkan kopi
sachet merk TORABIKA kepada Koko penjaga kasir tersebut,
“Itu tidak bisa, tetap 1.500 pel sachet” logat Tionghoa yang masih
sangat kental.
Aku seperti mengenal sosok yang sedang berbicara dengan Koko kasir
tersebut.
Aku seperti tidak asing dengan wajahnya. Apakah dia? Dia orang yang
beberapa tahun yang lalu bertemu dan mengenalku secara ‘Kebetulan’.
Aku masih ingat jelas bagaimana binar matanya ketika mata kami
saling tatap. Aku melihat ketulusan dan kejujuran di kedua bola mata itu. Bulu
matanya lentik, bibirnya kecil dan hidungnya mancung. Ia memakai kemeja merah
marun, celana kain hitam dan sepatu boots mengkilat. Tampak rapi sekali dengan
tas ransel hitam di punggungnya.
Dia balas menatapku dan aku merasa detik jam di dinding toko terhenti.
Tuhan...ada desiran di hati. Siapa dia, hatiku bilang dia bukan orang asing.
Sepertinya aku mengenal sosok jangkung di depanku ini.
Tapi tatapan itu tidak berlangsung lama, hanya beberapa saat. Aku
tiba-tiba ingat seorang teman yang sedang menungguku di rumah.
***
Bel berbunyi, waktunya pulang sekolah. Beberapa teman sudah pulang
dan aku masih membersihkan kelas, karena hari ini jadual piket kelasku. Setelah
selesai menyapu, aku bergegas pulang. Panas sekali hari ini, gumamku
sambil menyeka peluh di dahi. Andai saja rumahku jaraknya 50 km dari sekolah,
gumamku dalam hati. Tapi kenyataannya adalah rumahku jaraknya cukup jauh dari
sekolah. Perjalanan memakan waktu setengah jam, belum lagi harus melewati
bebatuan dan aspal yang sudah rusak.
Sesampainya di rumah, aku melepas seragam sekolahku dan
menggantinya dengan baju kaos dan celana panjang.
Ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 14.00. Kalau tidak
segera bergegas sholat, aku bisa-bisa tergiur untuk baring di tempat tidur dan
dzuhurku di-Skip, gumamku dalam hati.
Aku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk wudhu dan segera shalat
dzuhur. Usai sholat, aku segera marapat ke meja makan untuk makan siang. Perutku
sudah dari tadi pagi tidak diisi makanan. Hari ini sengaja aku tidak jajan di
sekolah karena aku ingin menabung untuk membeli novel yang sudah aku incar 1
minggu belakangan ini.
Belum sempat aku memasukkan nasi ke dalam mulutku, tiba-tiba Upik muncul
dari pintu samping rumahku dan berkata, “Tia…. Apakah Tia bisa bantu Upik?
Besok Upik mau nitip barang untuk diberikan kepada Julio, ponakan Upik. Nanti
biar dia ambil barangnya ke sekolah Tia. Gimana?” jelas Upik kepadaku.
Aku menoleh kearah Upik, dan berkata, “Baiklah Upik. Mana nomor hpnya?
“Ini, kau hubungi saja besok ya. Jangan lupa” ujar Upik, kemudian
memberikan barang yang akan diberikan kepada ponakannya itu.
“Siap Boss..” ucapku, dan Upik pun berlalu berjalan menuju rumahnya
yang letaknya di samping rumahku.
***
Keesokan harinya Upik sudah pergi kerja. Aku juga sudah
bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Waktu itu aku masih kelas XII SMA. Letak
SMA yang tidak begitu jauh kadang membuatku mengulur-ulur waktu berangkat ke
sekolah.
“Tia dimana? Jam berapa mau berangkat sekolah?” Tanya temanku Nisa
via sms. Hampir setiap hari aku
mendapatkan sms seperti itu. Biasa tidak aku balas smsnya, langsung berangkat
menjemputnya di rumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Kadang aku balas tapi
dengan kalimat singkat, “OTW” yang artinya sedang di perjalanan. Tapi
sebenarnya aku baru mengenakan jilbab dan memasang sepatu alias masih dirumah,
boro-boro udah di perjalanan :D
Alhasil, dengan jarak tempuh dari rumah ke sekolah sekitar 30
menit, berangkat pukul 06.30, kami jadi langganan ketemu satpam penjaga sekolah
dan disuruh mencatat nama dan alasan terlambat sampai ke sekolah.
“Kalian lagi kalian lagi. Coba lebih awal berangkatnya” Ujar Satpam
sekolah kepada kami. Kami yang terlambat hanya bisa diam dan menjalankan
hukuman sebagai sanksi karena sudah datang terlambat.
Usai menjalankan hukuman yang diberikan, aku dan Nisa kembali ke
kelas masing-masing. Kebetulan, Nisa dan aku berbeda kelas. Nisa kelas XII IPA
2 dan aku XII IPS 1.
Di kelas. Aku langsung duduk dan beruntungnya ibu guru belum masuk
di kelas. “Kriinggg…” ponselku berbunyi, aku bahkan lupa merubah pengaturan
nadanya menjadi Silent. Ada sms masuk, di sana tertulis pesan darinya dan
balasan dariku. Berikut percakapan kami:
“Assallamualaikum. Ini Julio, Ponakannya Upik. Sudah di sekolah
atau belum?”
“Waalaikmslm. Iya. Saya sudah di sekolah”
“Aku Otw sekolah”
“Iya. Saya di depan gerbang sekolah”
Tidak berapa lama datang seorang laki-laki bersepeda motor dengan
helm GM, berbaju kaos hitam lengan panjang, celana pendek dan menggunakan
sandal jepit berhenti di depan gerbang sekolah. Aku yang baru saja berdiri
sembari menunggu kedatangannya akhirnya bertemu dengannya. Namun sebelumnya aku
memastika apakah itu benar dia atau bukan.
Aku mengecek ponselku, di sana ada 1 pesan masuk yang belum sempat
ku baca. Kemudian ku buka pesan tersebut, yang isinya “Mbak dimana? Aku udah di
depan gerbang sekolah”, sengaja tidak ku balas, tapi pandanganku mengarah pada
laki-laki yang berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Dari pagar sekolah yang
sudah ditutup satpam, aku bertanya kepadanya “Mas, ponakan Upik bukan ya?” ia
menoleh ke arahku, dan menjawab “Ya, Mbak Tia?” tanyannya kepadaku, Aku
mengangguk. Pertemuan itu berlangsung singkat. Setelah tahu kalau dia pemilik
dari titipan itu, aku langsung memberikan titipan tersebut kepadanya. Tidak
lama kemudia dia langsung pulang dan aku pun segera masuk kelas karena bel
sudah berbunyi 5 menit yang lalu.
*Teeet.. teeeet… teeet…” Bel sekolah berbunyi, tanda istirahat pertama.
Aku segera keluar kelas menuju musholla sekolah yang tidak begitu jauh dengan
kelas, untuk melaksanakan shalat Dhuha. Di sana sudah ada beberapa teman yang
sedang berwudhu dan sudah ada yang memakai mukena serta peci untuk kemudian
shalat sunnah tersebut. Aku berlari kecil menuju musholla, maklum, istirahat
pertama hanya 15 menit, tidak enak kalau sampai telat masuk kelas.
Setelah shalat, aku segera kembali ke kelas. Ketika tiba di kelas,
ponselku bergetar tanda ada 1 pesan yang masuk.
“Assalamualaikum. Tia, makasih ya udah nganterin titipannya?”
sebuah pesan singkat dari Julio,
“Waalaikumsalam, Iya, sama-sama”. Percakapan kami berhenti sampai
di situ.
Tapi 2 hari kemudia, Julio jadi sering menanyakan kabar, kegiatanku
di sekolah juga tentang cita-cita. Dia selalu memotivasi, menceritakan
kegiatannya di sekolah, dan berbagi cerita tentang harapan serta cita-citanya.
Setiap kami bercerita satu sama lain, aku selalu menceritakannya kembali kepada
Upik. Kadang Upik senyum-senyum mendengar ceritaku tentang percakapan kami.
Upik terlihat begitu mendukung kedekatan kami, yang pada kenyataannya kami
hanya dekat di ‘ponsel’, kami tidak tahu apakah jika bertemu langsung kami juga
akan saling bertukar cerita seperti halnya kami di ‘ponsel’.
***
2 tahun kemudian. Julio sudah menjadi mahasiswa Universitas Tanjung
Pura semester VI, dan Tia sudah menjadi seorang mahasiswi di POLNEP semester IV.
Takdir mempertemukan mereka. Ini pertemuan yang ke-2 setelah sekian lama terpisah
oleh kesibukan masing-masing.
“Tia… benar Tia kan? Sepupunya Upik?” tanyanya kepadaku. Laki-laki
jangkung berambut hitam lurus dan berkulit putih itu menunggu jawaban. Aku
mengingatnya, ya.. dia orang yang aku kenal tapi aku belum pernah sedekat ini
memandangnya.
“Iya. Julio kan? Keponakan Upik?” jawabku. Terjadi beberapa
percakapan singkat antara aku dan dia. Dalam percakapan singkat itu, ia
menanyakan nomor ponselku apakah masih memakai nomor ponsel yang lama. Tidak
lama kemudian, aku teringat temanku yang sedang menungguku di rumah. Aku pun
pamit dengannya dan segera pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku dengan harapan yang mungkin terlalu
berlebihan, menunggu dering dari ponselku, tapi sia-sia… dia tidak benar-benar
menghubungiku, dia hanya basa basi, dan ini hanya sebuah “Pertemuan” J
Terima kasih untuk sebuah pertemuan singkat ini, kau telah berhasil membuat hatiku ‘Berdesir’. Ya Rabb… semoga ini bukan pertanda buruk(*)
Terima kasih untuk sebuah pertemuan singkat ini, kau telah berhasil membuat hatiku ‘Berdesir’. Ya Rabb… semoga ini bukan pertanda buruk(*)
“Tapi apalagi yang membuat hati berdesir selain pertemuan yang tidak terduga” *Tere Liye
0 komentar:
Posting Komentar